Rabu, 29 Januari 2014

Carbon trade, Tantangan besar untuk Kehutanan Indonesia



         Kurun waktu terakhir, pemerintah Indonesia maupun masyarakat dunia mulai menyadari betapa pentingnya keberadaan hutan lestari yang menyangga kehidupan masyarakat dunia, salah satunya berjasa dalam pengurangan emisi karbon yang ada di dunia saat ini. Kesadaran ini terlihat dari berbagai konferensi dan pertemuan yang di bahas oleh para petinggi-petinggi dari tiap perwakilan Negara untuk bertemu dan membahas solusi dari masalah yang sedang di alami oleh penduduk dunia, yaitu Global Warming yang dampaknya sampai saat ini sudah merugikan seluruh warga dunia, seperti kelaparan, kekeringan, gagal panen dan krisis energi.
        Akhir akhir ini emisi karbon di udara bebas mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 1950 sampai tahun 2000-an. Menurut Worldwatch Institute awalnya emisi karbon di dunia tercatat sebesar 1,6 miliar ton pada 1950, lalu meningkat pada tahun 2000 sebesar 6,5 miliar ton sehingga menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sekitar 0,13 derajat Celcius setiap dekadenya. Dampaknya kini dapat kita rasakan seperti meningkatnya suhu didunia yang menyebabkan pencairan es dikutub dan es di lautan Arktik mencair seluas 2,7 % per decade yang menyebabkan dampak berikutnya yaitu meningkatnya tinggi permukaan air laut 0,5 mm tiap tahunnnya, serta menyebabkan meningkatnya banjir air pasang dan badai di berbagai belahan dunia.
        Beberapa penyebab Emisi Karbon di udara antara lain :
Listrik yang menyumbang 42 % emisi
Transportasi yang menyumbang 24 % emisi
Industri menyumbang emisi karbon 20 %
Kependudukan serta penggunaan barang-barang komersial menyumbang 14%
SUmber : Deforestasi hutan (Kebakaran hutan) (Handadhari, T, 2009 buku Kepedulian Yang Terganjal)
      Peningkatan emisi global menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga dunia. Tiap Negara memiliki andil besar sebagai penghasil emisi karbon. Indonesia di anggap berandil besar dalam menyumbang emisi karbon, karena di Indonesia sangat sering terjadi deforestasi hutan besar-besaran dan sulit di cegah. Tahun 2008 Indonesia dinobatkan oleh Guiness Book of World Records sebagai Negara perusak hutan terluas di dunia. Akibatnya Indonesia mengalami tekanan dari Internasional sehingga menyulitkan perdagangan kayu-kayunya. Pada akhirnya Indonesia dipandang sebagai Negara perusak hutan. Namun kenyataannya upaya rehabilitas dan reboisasi serta upaya pencegahan kebakaran hutan tidak di respon psoitif oleh Negara maju. Upaya perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah tidak memperoleh perhatian dari dunia. Padahal Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa yang notabenenya adalah Negara yang memiliki industri raksasa juga turut menyumbangkan emisi karbon dunia. Amerika menyumbang 24% emisi global, China 14 %, Jepang dan India menyumbang 5 %. Sebenarnya negara-negara ini sudah lama kehilangan hutannya. Dari seluruh hutan yang ada di Negara maju di dunia yang tersisa hanya hutan milik Finlandia yang masih memiliki hutan seluas 20 % dari luas daratannya, dan luasnya pun hanya 9 juta hektar. Mari kita bandingkan dengan dengan luas hutan yang ada di Indonesia yang memiliki luas hutan sebesar 120 juta hektar, ataupun Brasil yang memiliki 200 juta hektar. (Handadhari, T, 2009)
       Hancurnya hutan hutan di Negara maju di dunia ini menyebabkan harapan dan tumpuan untuk menyelamatkan dunia dari krisis global warming berada pada Negara Negara berkembang yang memiliki potensi besar untuk menjaga hutannya, termasuk Indonesia.
Kondisi lingkungan dunia yang semakin kritis ini mendasari munculnya gagasan Protokol Kyoto tahun 1997. Berdasarkan pertemuan ini disepakati bahwa enam senyawa Gas Rumah Kaca yang menjadi penyebab penyerapan dan pemancaran radiasi infra merah yaitu Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogenoksida (N2O), Hidroflorokarbon (HFC), Peroflorokarbon (PFC), dan Sulfur heksaflorida (SF6). SF6 memiliki efek pemanasan global terbesar yaitu 23 ribu kali disebabkan oleh setiap satu satuan berat yang sama daripada CO2. Kita tahu bahwa Negara maju merupakan penghasil emisi karbon terbesar sehingga mereka sangat ambisius menjadikan hutan-hutan di Negara berkembang yang potensial untuk menjadi penyelamat dari rusaknya iklim dunia. Maka muncul gagasan adanya kompensasi oleh Negara maju terhadap Negara berkembang yang mampu menjaga kelestarian hutannya.
    Protokol Kyoto ini menghasilkan suatu mekanisme yaitu pola CDM (Clean Development Mechanism) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang perekonomiannya maju yang masuk dalam daftar lampiran 1 dan lampiran B menurut Konvensi Perubahan Iklim pada tahun 1990 berkewajiban mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sampai angka tertentu hingga tahun 2012, serta membantu Negara-negara yang memiliki hutan untuk membiayai proyek yang akan menurunkan efek Gas Rumah Kaca. Indonesia berpotensi dapat melakukan supply carbon credit dunia yang diperkirakan memiliki potensi CDM di sector energi sebesar 25 juta ton CO2 dengan harga US$ 1,83 per ton. Dari Kegiatan penghijauan ataupun reboisasi seluas 32,5 juta hektar, maka Indonesia akan mampu menyerap 5,5 giga ton CO2 dan setidak-tidaknya separuhnya dapat memenuhi syarat dijadikan proyek CDM. MEnurut perkiraan awal, Indonesia akan dapat menyerap dana sekurang-kurangnya US$ 500 juta dari kegiatan proyek CDM tersebut. (Handadhari, T, 2009) Selain mekanisme CDM mekanisme fleksibel lainnya yang dapat ditempuh dalam rangka mencegah dan mengurangi emisi karbon dunia menurut Transtoto adalah dengan melakukan kegiatan Joint Implementation (JI) dan Emission Trading (ET) yang juga dapat menarik aliran dana dari Negara-negara industri untuk berpartisipasi.
     Saat ini banyak pemerintah daerah yang di daerahnya terdapat hutan mulai tergiur pada iming-iming kompensasi dana karbon, padahal mereka belum tahu secara menyeluruh tentang mekanisme CDM dan konsekuensi apa yang harus dilakukan dalam menjual karbon. Seharusnya sebelum melaksanakan proses penjualan karbon ini, pemerintah daerah wajib memiliki data potensi dan trend perubahan hutan, serta model yang terukur dalam menentukan jumlah karbon. Sistem ini sudah mulai di bangun oleh Departemen Kehutanan untuk memperjelas perdagangan karbon di Indonesia. Sebelum melakukan carbon trading kita harus memperbaiki sistem dalam pengelolaan hutan yang baik terlebih dahulu. Dalam proses penghitungan karbon, akan selalu berkaitan dengan produktivitas yang terdapat pada hutan. Tiap pohon memiliki batang, tajuk, cabang, daun dan akar sehingga penghitungan potensi pohon dalam penyerapan karbon ini harus dihitung menyeluruh pada seluruh komponen yang terdapat di tiap pohon.
    Pelaksanaan Carbon trade di lapangan tidak mudah karena sebagian data yang dimiliki kurang akurat dan sulitnya prosedur pencairan dana kompensasi karena sulitnya syarat-syarat CDM pada Protokol Kyoto yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia. Carbon trade ini sering dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan lain yang rata-rata adalah orang luar Indonesia untuk keuntungan semata. Menurut (Transtoto, H 2009 buku Kepedulian Yang Terganjal) sampai saat ini proses perhitungan nilai lingkungan dalam penyerapan karbon yang akan diterima Indonesia tak kunjung usai, serta hasilnya pun belum tentu menguntungkan bagi Indonesia. Karena kabarnya data untuk menghitung pengurangan emisi karbon harus diolah dengan menggunakan teknologi yang canggih yang tidak Indonesia kuasai, sehingga patut diwaspadai upaya dari Negara-negara maju yang ingin menguasai data detail dan informasi komprehensif tentang kehutanan Indonesia.
     Harga karbon dari Hutan Indonesia per ton dirasa masih jauh lebih rendah karena pasarnya belum terbentuk dan pasar bebasnya masih belum liquid. Hal ini menandakan tidak akan ada apresiasi atau penghargaan terhadap keberadaan hutan dan pada akhirnya akan tetap terjadi deforestasi dan degradasi hutan oleh manusia. Indonesia tidak sepantasnya mau begitu saja karena terkesan mengemis kepada Negara maju untuk mendapatkan kompensasi dana carbon yang jumlah harga totalnya jauh lebih rendah dan tidak sebanding dengan usaha kita melestarikan hutan.
     Indonesia harus berani dan percaya diri tanpa perlu mengemis-ngemis kompensasi carbon trade pada negara maju. Menjaga dan melindungi Hutan agar tetap lestari merupakan sebuah kewajiban dan Indonesia tidak pantas bergantung terhadap bangsa asing yang notabene mencari keuntungan dari negeri kaya ini.

Daftar Pustaka
Handadhari, T , 2009 , Kepedulian Yang Terganjal. Gramedia. Jakarta.
World Institute

*Tulisan dimuat dalam Majalah Mahasiswa Fakultas Kehutanan FORESTA edisi I 2013

1 Comments :

Unknown mengatakan...

Kami tlh menyiapkan kemampuan dlm lini ini

 
;