Jumat, 31 Mei 2013 0 Comments

Moratorium, good deal or not?



Sudah 2 tahun terakhir semenjak tahun 2011, Indonesia menerapkan moratorium untuk izin pembukaan  hutan dan lahan gambut serta penataan tata kelola kawasan hutan agar lebih baik. Dengan bermodal payung hukum instruksi presiden no. 10 tahun 2011. Segala bentuk izin pembukaan lahan hutan untuk diubah menjadi bentang alam yang lain dihentikan. Intsruksi tersebut berlaku selama dua tahun.
Tahun ini moratorium tersebut telah diperpanjang kembali dengan keluarnya instruksi presiden no. 6 tahun 2013 yang akan berlaku sampai tahun 2015.  Melihat kembali situasi hutan Indonesia saat ini. Pemberlakuan moratorium untuk izin pembukaan lahan hutan dan gambut tentu memiliki dampak baik dan buruk bagi pengelolaan hutan secara keseluruhan di Indonesia.
Tujuan dari moratorium hutan yaitu agar tata kelola kawasan hutan di Indonesia ini bisa diperbaiki. Pemerintah diberikan kesempatan dengan cara tidak akan membuka kawasan baru untuk dikelola. Sehingga pemerintah bias focus untuk memperbaiki kawasan hutan yang sudah ada sekarang. Kemudian untuk melembagakan one map dan melembagakan system tata kelola izin yang memeiliki cek dan control serta transparansi izin.
Moratorium awal mulanya merupakan salah satu bentuk implementasi perjanjian Indonesia dengan Norwegia dalam konferensi Perubahan Iklim dan Hutan di Oslo. Ini merupakan cikal bakal adanya moratorium. Komitmen pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan hutan primer dan lahan gambut dari kerusakan. Norwegia berjanji akan memberikan fee senilai 1 milyar dollar AS jika sampai tahun 2020 Indonesia mampu menurunkan emisi sampai 20%. Hal ini pula yang kemudian memunculkan program implementasi nyata REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation of Forest) yang saat ini sedang pro kontra di kalangan para pembuat kebijakan kehutanan.
Moratorium akan berdampak pada berkurangnya laju deforestasi hutan. Hal tersebut terjadi karena tidak akan keluar izin yang memperbolehkan pengelolaan pada kawasan hutan yang baru. Hal ini sekaligus mampu menekan jumlah kerusakan hutan primer dan gambut yang terjadi.
Dengan adanya moratorium sebenarnya juga mengurangi adanya konflik agraria dan sumber daya alam (SDA). Konflik agraria dan SDA ini terjadi karena banyaknya tumpang tindih izin yang keluar di kawasan Hutan Primer. Seringkali mereka juga melupakan keberadaan suku/masyarakat yang merasa meiliki kawasan hutan tersebut sebagai hutan adat. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik karena mereka merasa sama sama memiliki kawasan hutan dan tidak ada tapal batas kawasan yang jelas.
Sebaliknya, moratorium hutan juga akan berdampak pada macetnya pengeloaan dan pengusahaan hutan (HTI/HPH). Hal ini terjadi karena izin pengelolaan areal kawasan hutan untuk HTI/HPH tidak akan ada lagi. Sampai pemerintahan ini berkahir 2014 pun tidak akan ada perluasan kawasan HTI/HPH di areal yang baru. Bisa dipastikan kegiatan pembangunan HTI di Indonesia mandek. Di Indonesia sendiri tidak mungkin ada kawasan yang digunakan sebagai pengusahaan HTI/HPH yang bukan hutan gambut. Sebenarnya hal ini berkaitan dengan insentif yang dijanjikan oleh Norwegia melalui REDD+. Jumlah Insentif yang diberikan oleh Norwegia untuk Indonesia jika mampu menjaga hutan dan mengurangi emisi sampai 20% (1 milyar dollar AS setara 10 T) tidak sebanding dengan keuntungan hasil produksi HTI/HPH selama 4 tahun ke depan (97 T). Artinya penjualan Pulp and Paper dari HTI/HPH selama kurun waktu 4 tahun jauh lebih besar jika di bandingkan dengan insentif yang diberikan Norwegia (Uni Eropa). Pasalnya sampai sekarang pun pihak Uni Eropa juga belum pernag mencairkan dana sejumlah yang dijanjikan. Pemerintah Indonesia seolah olah terlalu bergantung terhadap besaran insentif yang dijanjikan Uni Eropa. Secara otomatis hal ini akan menghambat Indonesia utnuk menjadi raja kertas dunia.
Menurut Dr. Ahmad Maryudi, salah satu dosen bagian Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM sekaligus anggota IUFRO ini mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah melakukan persiapan untuk menjalani moratorium ini sampai 2 tahun ke depan. Beliau mengatakan pemerintah tidak akan mau rugi,karena dengan adanya moratorium. Stabilitas ekonomi dan pembangunan Indonesia yang bergantung terhadap industri hutan terganggu.
Selagi moratorium berjalan, tata kelola hutan di Indonesia harus terus diperbaiki. Salah satu caranya yaitu dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan dan suku adat dalam pengeloaan hutan sehingga mereka dapat ikut merasa meliki dan memperoleh manfaaat dari hutan. Kemudian penggunaaan sertifikasi legalitas kayu lebih diperketat sehingga penjualan kayu illegal akan semakin berkurang. Sehingga menjaga produktivitas dan pengelolaan indutri hutan tetap berjalan normal.
Moratorium sebenarnya tidak dalam kerangka pasif. Moratorium hanyalah salah satu cara untuk membawa hutan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Selalu ada dampak baik dan buruk dalam pengambilan suatu keputusan. Wajib dijalankan jika memang dampak baik memberikan efek yang lebih baik dan lebih besar secara keseluruhan terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia tanpa mengesampingkan adanya dampak buruk yang terjadi. Lantas?


Ranu Bentardi
Penulis merupakan mahasiswa aktif program sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
 
;