Senin, 30 Juni 2014 0 Comments

Akhirnya, Indonesia - Inggris Perpanjang Kerjasama MFP hingga 2017





Multistakeholder Forestry Proggramme adalah sebuah program yang dibentuk atas kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Inggris untuk mendukung pengelolaan hutan yang baik dan lestari di Indonesia. Sejak tahun 2000, Department for International Development (DFID) mendukung Indonesia untuk memperbaiki tata laksana di dalam sektor kehutanan melalui kegiatan Multi-stakeholder Forestry Programme (MFP) yang berfokus pada upaya pengentasan kemiskinan di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Fase kedua dilanjutkan pada tahun 2007 yang berfokus pada pengembangan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dalam rangka mendukung Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Berbagai kegiatan bersifat sosialisasi ataupun kebijakan SVLK banyak dihasilkan dalam pelaksanaan fase kedua MFP2 tersebut.
Pada April 2014, fase ketiga atau disebut MFP3 disepakati melalui Letter of Agreement yang ditandatangani oleh Sekretaris Jendral Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dan Direktur Jendral DFID. Program MFP3 ini bertujuan mendukung Pemerintah Indonesia dalam peningkatan tata laksana kehutanan dan memperkuat hasil-hasil yang sudah dicapai pada kedua fase sebelumnya.
Kerjasama tahap ketiga yang dimulai april 2014 telah melahirkan tim pelaksana baru. Tim pelaksana MFP3 yaitu terpilih Asep Sugih Suntana sebagai Program Director. Beliau adalah sarjana kehutanan lulusan dari Fakultas Kehutanan IPB. Menggantikan Diah Y. Raharjo yang sebelumnya merupakan Program Director MFP2. Sedangkan Lembaga Eksekutif dari Kementrian Kehutanan yaitu Ir. Bambang Hendroyono MM. Kemudian untuk tim pelaksana harian dipimpin oleh Dr.Ir. Dwi Sudharto M.Sc.
Pelaksanaan program MFP3 kedepan akan lebih fokus terhadap 3 pendekatan yaitu
1.      SVLK,  penerapan SVLK akan didorong dari hulu sampai hilir untuk menjamin jual beli produk kayu Indonesia. Hal ini sekaligus menindaklanjuti penandatanganan VPA.
2.      Kewirausahaan di bidang kehutanan berbasis pengelolaan hutan masyarakat akan terus didukung keberadaanya.
3.      KPH, mendukung penuh keberadaan KPH sebagai unit operasional kesatuan pengelolaan hutan untuk memastikan dan mejamin pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan baik dari segi masyarakat atau pemegang izin lainnya.

Sampai tahun 2014, SVLK sudah banyak mengalami kemajuan. Indonesia termasuk 10 besar pemasok kayu dan produk kayu ke Uni Eropa. Pada periode Januari-November 2013, nilai ekspor produk kayu bersertifikat ke Uni Eropa meningkat menjadi 5,48 miliar dolar AS dibandingkan periode yang sama pada tahun 2012 yang tercatat 4,2 miliar dolar AS. Sementara itu dalam konteks bilateral, untuk periode yang sama tahun 2013, impor kayu dan produk kayu dari Indonesia ke Inggris mencapai 72,35 juta Poundsterling, meningkat 12,27% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat 64,44 juta Poundsterling. (Kementrian Kehutanan, 2014)
Untuk KPH sendiri di Indonesia rencananya akan dibentuk 600 KPH di seluruh Indonesia. Sampai tahun 2014 ini sudah terbentuk 120 KPH model. Pembentukan KPH diharapkan mampu menciptakan pengelolaan hutan yang lebih baik dari segi ekonomi, sosial, dan ekologi serta pemantapan batas kawasan hutan yang jelas sehingga meminimalkan terjadinya tumpang tindih kawasan hutan.
Jumat, 04 April 2014 0 Comments

[Report] Seminar Hasil Studi Ilmiah Lapangan 2014 : Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, tantangan dan pelaksanaannya di Industri Kayu Jepara




Kamis, 3 April 2014 –  Keluarga Mahasiswa Manajemen Hutan (KMMH) merupakan salah satu himpunan mahasiswa minat di Fakultas Kehutanan UGM. KMMH bergerak aktif dalam mewadahi kreativitas serta kegiatan kemahasiswaan di Fakultas Kehutanan UGM. Kamis siang pukul 13.30 kemarin, KMMH baru saja melaksanakan rangkaian acara terakhir Studi Ilmiah Lapangan (SIL) yaitu Seminar Hasil Studi Ilmiah Lapangan. Acara tersebut dilaksanakan di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM. Dalam seminar ini dibahas mengenai hasil materi yang didapatkan dari penelitian lapangan di Semarang dan Jepara  yang dilaksanakan bulan Februari 2014 lalu. Acara ini dihadiri oleh Wakil Dekan Bapak Teguh Yuwono S.Hut, M.Sc dan Bapak Slamet Riyanto S.Hut, M.Sc. Beliau berdua sekaligus menjadi pembahas materi seminar yang disampaikan oleh tim peneliti SIL. Acara ini juga dihadiri oleh sebagian mahasiswa Fakultas Kehutanan lintas angkatan mulai angkatan 2010, 2011, 2012 dan 2013. Acara dimulai pukul 14.00 diawali sambutan wakil dekan dan ketua panitia SIL. Kemudian acara dilanjutkan dengan penyampaian hasil materi oleh 4 orang presentator dari tim peneliti SIL dan 1 orang moderator.
Yang pertama yaitu Raden Firman Santoso, mahasiswa Manajemen Hutan 2011 ini adalah coordinator tim peneliti SIL. Ia menyampaikan presentasi tentang Latar belakang, metode penelitian yang digunakan dan hasil data dari instansi pemerintah. Ia menjelaskan latar belakang diangkatnya SVLK dalam SIL kali ini karena Jepara merupakan salah satu kota yang terkenal akan kayu, pengrajin mebel dan pengusaha kayu yang dipasarkan sampai ekspor. Kemudian sedang hangatnya isu SVLK di Kementrian Kehutanan serta mulai banyaknya pelaku usaha yang menggunakan sertifikasi kayu di Jepara. Hal inilah merupakan alasan mengapa SIL 2014 mengunjungi Industri Kayu Jepara. Metode yang digunakan adalah Purposive sampling dengan metode pengambilan data Interview Guide. Kemudian ia juga menjelaskan tentang peran pemerintah daerah dalam mendukung SVLK di Jepara.
Presentator ke 2 yaitu Azhuardi Reza F. Ia adalah mahasiswa Manajemen Hutan 2011. Ia menyampaikan materi berupa Hasil kunjungan di Industri skala menegah dan skala besar. Perusahaan besar di Jepara sudah siap menggunakan SVLK dan tidak mengalami kendala yang berarti dalam pelaksanaan SVLK tersebut. Sedangkan di industry skala menegah ia menjelaskan kebanyakan dari perusahaan menengah belum siap menggunakan SVLK karena terkendala biaya yang mahal dan syarat SVLK yang masih rumit.
Presentator ke 3 yaitu Arief Nugroho, mahasiswa manajemen hutan 2011 yang juga selaku ketua KMMH 2011. Ia menjelaskan tentang Hasil kunjugan dan penelitian di Indutri Rumah Tangga/Kecil dan Pedagang Kayu. Ia menjelaskan IRT sebagian besar belum menggunakan IRT karena terkendala biaya dan jual beli IRT hanya pada skala local saja tidak sampai ekspor ke luar negeri. Untuk pedagang kayu sendiri juga masih belum menggunakan SVLK. Mereka masih menggunakan dokumen PUHH sebagai alat jual beli bahan baku kayu.
Presentator terakhir yaitu Muhammad Abdul Rahman S. Ia merupakan mahasiswa Manajemen Hutan angkatan 2011 menjelaskan tentang pembahasan dan kesimpulan dari kunjungan penelitian SVLK di Jepara. Ia mengatakan masih banyak industry kayu di Jepara yang belum menggunakan SVLK terlebih untuk skala menengah sampai kecil karena terkendala biaya dan mekanisme SVLK yang masih rumit. Minimnya sosialisasi dari Dinas terkait dan enggannya pengusaha kayu untuk pro aktif bertanya pada pemerintah, hal ini kemudian menjadi kendala dan halangan bagi pelaksanaan SVLK di Jepara. Jumlah Lembaga VLK yang masih sedikit di Indonesia (sekitar 12) dan Ribuan industry kayu di Jepara seakan menjadi tantangan yang berat karena untuk mengawal ribuan industry kayu tersebut, Lembaga VLK dirasa masih kurang mengimbangi dan belum siap.
Acara selanjutnya moderator memberikan kesempatan bagi Bapak Teguh Yuwono S.Hut, M.Sc dan Bapak Slamet Riyanto S.Hut, M.Sc untuk memberikan tanggapan atas presentasi yang sudah dilakukan. Beliau berdua memberikan apresiasi tinggi kepada tim SIL karena berani mengambil tema penelitian yang berat yaitu SVLK. Bapak Slamet menyampaikan bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam penerapan SVLK di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu : 1. Struktur Birokrasi, 2. Ketersediaan Sumber Daya, 3. Komunikasi antar stakeholders, 4. Kesiapan Implementator SVLK di lapangan. Acara dilanjutkan dengan diskusi. Para tamu dan presentator terlihat antusias dalam menjalani diskusi ini.
“Adanya kegiatan ini kurang lebih bisa menjadi modal tambah bagi rimbawan muda, tidak hanya untuk kuliah tapi juga bisa menjadi bekal untuk kerja nanti. Nilai plusnya, materi SVLK tidak diajarkan di kampus karena masih tergolong baru. Oleh karena itu beruntunglah bagi mereka yang mau belajar dan meneliti penerapan SVLK melalui acara SIL 2014 ini,” kata Ranu tim Acara SIL 2014.
Acara Seminar Hasil SIL ini berakhir pukul 16.30. Sebagai penutup dan kenang – kenangan untuk tamu yang datang. Tim panitia SIL membagikan hadiah doorprize menarik bagi yang beruntung dan berhasil menjawab kuis yang diberikan oleh tim panitia.
Rabu, 05 Februari 2014 0 Comments

Pohon Kemenyan : Upaya Rehabilitasi dan Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Gunung Merapi



   Pohon Kemeyan (Styrax benzoin dryander) adalah salah satu pohon yang tumbuh di kawasan gunung merapi. Pohon Kemenyan termasuk dalam Divisio Spermatophyta, sub Divisio Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Ebenales, Familia Styraceae, Genus Styrax, dan spesies Styrax benzoin dryander. Pemanfaatan kemenyan telah dikenal luas di Indonesia terutama sebagai bahan obat baik sebagai solusi untuk mengatasi penyakit dengan cara tradisional maupun industri, bahan campuran parfum dan wewangian, dan digunakan sebagai bahan batik. Selain itu, karena memiliki bau khas, biasanya kemenyan digunakan dalam ritual adat atau upacara tertentu. Tanaman kemenyan prospektif dikembangkan untuk tanaman hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, dan rehabilitasi lahan. Berdasarkan wawancara kam dengan warga setempat, masyarakat lereng gunung merapi tepatnya di dusun Tunggularum, Wonokerto,Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya menggunakan pohon kemenyan sebatas untuk kusen rumah. Banyak dari mereka belum mengetahui potensi lain yang bisa dimanfaatkan dari pohon kemenyan seperti getah dan biji/buahnya.
   “Kami belum begitu mengerti keunggulan pohon kemenyan, kami hanya menggunakan kayunya untuk kusen dan kayu bakar. Selain itu pohon kemenyan untuk dipanen kayunya butuh waktu 15 tahun, artinya 2x dari umur sengon. Otomatis kami lebih memilih kayu sengon,” kata bapak saridi warga dusun tunggularum.
    Pasca erupsi merapi 2010 keberadaan pohon kemenyan di kawasan lereng merapi jauh berkurang. Di dusun tunggularum hingga saat ini terdapat 8 pohon kemenyan yang umurnya kurang dari 15 tahun. Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian bagi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Bekerjasama dengan Taman Nasional Gunung Merapi dan Masyarakat desa Wonokerto akhirnya muncul gerakan Merapi Hijau. Program ini diinisiasi oleh Bapak Joko Supriyadi, Sri Danarto dan Bapak Tomon Haryo W.
   “Gerakan Merapi Hijau merupakan upaya membangun sinergi, sinergi peran, sinergi kelembagaan dan sinergi alokasi sumberdaya melalui serangkaian program dan kegiatan konservasi dan rehabilitasi ekosistem Merapi,hal ini merupakan wujud kepedulian kita bersama akan pentingnya ekosistem di kawasan gunung merapi ini,” papar Joko Supriyadi.
    Upaya yang sudah dilakukan adalah kerjasama untuk membangun persemaian pohon kemenyan. Akhir November 2013 lalu, telah dibangun persemaian pohon kemenyan di daerah pekarangan warga. Sejumlah 3000 bibit terdiri dari 2 jenis yang dikembangkan yaitu dari biji kemenyan yang sudah diseleksi dan cabutan dari pohon kemenyan yang sudah ada sebelumnya. Sayangnya hingga februari ini tercatat sekitar 1500 bibit belum tumbuh optimal, sehingga yang siap digunakan adalah setengah dari bibit yang ada di persemaian tersebut. Persemaian ini masih menggunakan cara pengelolaan yang sederhana mulai dari pengairan, pemupukan dan perawatan bibitnya. Rencananya bibit yang tersedia dari persemaian tersebut akan ditanam sebagai upaya rehabilitasi lahan di kawasan lereng gunung merapi.
Menurut Joko Supriyadi, pohon kemenyan memiliki manfaat yang tidak hanya terletak pada kayunya saja, tetapi juga pada hasil getahnya yang harga jualnya bisa mencapai Rp. 500.000,00 per kilogramnya. Harapannya dengan adanya lahan yang ditanami pohon kemenyan selain untuk merehabilitasi lahan juga untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat sekitar.
      Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui dasar pemilihan jenis pohon Kemenyan dalam pelaksanaan rehabilitasi lahan di kawasan gunung merapi ini. Pohon Kemenyan memiliki karakteristik yang sesuai dengan keadaan ekologi kawasan merapi, selain itu pohon kemenyan juga akan memberikan dampak ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat dari hasil kayu dan getahnya.
     Saat ini tim fakultas kehutanan UGM dibantu dengan masyarakat dusun tunggularum masih terus mengembangkan persemaian pohon kemenyan tersebut. Fakultas Kehutanan UGM juga meneliti mengenai cara penyadapan getah pohon kemenyan yang paling baik, sehingga hasil getah yang diperoleh kualitasnya bagus. Program Gerakan Merapi hijau kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dan Masyarakat dusun Tunggularum dibantu dengan Taman Nasioanal Gunung Merapi melalui budidaya Pohon kemenyan ini diharapkan berhasil dan sukses sehingga kawasan gunung merapi yang rusak berat pasca erupsi 2010 dapat kembali hijau, dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya meningkat.

Rabu, 29 Januari 2014 1 Comments

Carbon trade, Tantangan besar untuk Kehutanan Indonesia



         Kurun waktu terakhir, pemerintah Indonesia maupun masyarakat dunia mulai menyadari betapa pentingnya keberadaan hutan lestari yang menyangga kehidupan masyarakat dunia, salah satunya berjasa dalam pengurangan emisi karbon yang ada di dunia saat ini. Kesadaran ini terlihat dari berbagai konferensi dan pertemuan yang di bahas oleh para petinggi-petinggi dari tiap perwakilan Negara untuk bertemu dan membahas solusi dari masalah yang sedang di alami oleh penduduk dunia, yaitu Global Warming yang dampaknya sampai saat ini sudah merugikan seluruh warga dunia, seperti kelaparan, kekeringan, gagal panen dan krisis energi.
        Akhir akhir ini emisi karbon di udara bebas mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 1950 sampai tahun 2000-an. Menurut Worldwatch Institute awalnya emisi karbon di dunia tercatat sebesar 1,6 miliar ton pada 1950, lalu meningkat pada tahun 2000 sebesar 6,5 miliar ton sehingga menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sekitar 0,13 derajat Celcius setiap dekadenya. Dampaknya kini dapat kita rasakan seperti meningkatnya suhu didunia yang menyebabkan pencairan es dikutub dan es di lautan Arktik mencair seluas 2,7 % per decade yang menyebabkan dampak berikutnya yaitu meningkatnya tinggi permukaan air laut 0,5 mm tiap tahunnnya, serta menyebabkan meningkatnya banjir air pasang dan badai di berbagai belahan dunia.
        Beberapa penyebab Emisi Karbon di udara antara lain :
Listrik yang menyumbang 42 % emisi
Transportasi yang menyumbang 24 % emisi
Industri menyumbang emisi karbon 20 %
Kependudukan serta penggunaan barang-barang komersial menyumbang 14%
SUmber : Deforestasi hutan (Kebakaran hutan) (Handadhari, T, 2009 buku Kepedulian Yang Terganjal)
      Peningkatan emisi global menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga dunia. Tiap Negara memiliki andil besar sebagai penghasil emisi karbon. Indonesia di anggap berandil besar dalam menyumbang emisi karbon, karena di Indonesia sangat sering terjadi deforestasi hutan besar-besaran dan sulit di cegah. Tahun 2008 Indonesia dinobatkan oleh Guiness Book of World Records sebagai Negara perusak hutan terluas di dunia. Akibatnya Indonesia mengalami tekanan dari Internasional sehingga menyulitkan perdagangan kayu-kayunya. Pada akhirnya Indonesia dipandang sebagai Negara perusak hutan. Namun kenyataannya upaya rehabilitas dan reboisasi serta upaya pencegahan kebakaran hutan tidak di respon psoitif oleh Negara maju. Upaya perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah tidak memperoleh perhatian dari dunia. Padahal Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa yang notabenenya adalah Negara yang memiliki industri raksasa juga turut menyumbangkan emisi karbon dunia. Amerika menyumbang 24% emisi global, China 14 %, Jepang dan India menyumbang 5 %. Sebenarnya negara-negara ini sudah lama kehilangan hutannya. Dari seluruh hutan yang ada di Negara maju di dunia yang tersisa hanya hutan milik Finlandia yang masih memiliki hutan seluas 20 % dari luas daratannya, dan luasnya pun hanya 9 juta hektar. Mari kita bandingkan dengan dengan luas hutan yang ada di Indonesia yang memiliki luas hutan sebesar 120 juta hektar, ataupun Brasil yang memiliki 200 juta hektar. (Handadhari, T, 2009)
       Hancurnya hutan hutan di Negara maju di dunia ini menyebabkan harapan dan tumpuan untuk menyelamatkan dunia dari krisis global warming berada pada Negara Negara berkembang yang memiliki potensi besar untuk menjaga hutannya, termasuk Indonesia.
Kondisi lingkungan dunia yang semakin kritis ini mendasari munculnya gagasan Protokol Kyoto tahun 1997. Berdasarkan pertemuan ini disepakati bahwa enam senyawa Gas Rumah Kaca yang menjadi penyebab penyerapan dan pemancaran radiasi infra merah yaitu Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogenoksida (N2O), Hidroflorokarbon (HFC), Peroflorokarbon (PFC), dan Sulfur heksaflorida (SF6). SF6 memiliki efek pemanasan global terbesar yaitu 23 ribu kali disebabkan oleh setiap satu satuan berat yang sama daripada CO2. Kita tahu bahwa Negara maju merupakan penghasil emisi karbon terbesar sehingga mereka sangat ambisius menjadikan hutan-hutan di Negara berkembang yang potensial untuk menjadi penyelamat dari rusaknya iklim dunia. Maka muncul gagasan adanya kompensasi oleh Negara maju terhadap Negara berkembang yang mampu menjaga kelestarian hutannya.
    Protokol Kyoto ini menghasilkan suatu mekanisme yaitu pola CDM (Clean Development Mechanism) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang perekonomiannya maju yang masuk dalam daftar lampiran 1 dan lampiran B menurut Konvensi Perubahan Iklim pada tahun 1990 berkewajiban mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sampai angka tertentu hingga tahun 2012, serta membantu Negara-negara yang memiliki hutan untuk membiayai proyek yang akan menurunkan efek Gas Rumah Kaca. Indonesia berpotensi dapat melakukan supply carbon credit dunia yang diperkirakan memiliki potensi CDM di sector energi sebesar 25 juta ton CO2 dengan harga US$ 1,83 per ton. Dari Kegiatan penghijauan ataupun reboisasi seluas 32,5 juta hektar, maka Indonesia akan mampu menyerap 5,5 giga ton CO2 dan setidak-tidaknya separuhnya dapat memenuhi syarat dijadikan proyek CDM. MEnurut perkiraan awal, Indonesia akan dapat menyerap dana sekurang-kurangnya US$ 500 juta dari kegiatan proyek CDM tersebut. (Handadhari, T, 2009) Selain mekanisme CDM mekanisme fleksibel lainnya yang dapat ditempuh dalam rangka mencegah dan mengurangi emisi karbon dunia menurut Transtoto adalah dengan melakukan kegiatan Joint Implementation (JI) dan Emission Trading (ET) yang juga dapat menarik aliran dana dari Negara-negara industri untuk berpartisipasi.
     Saat ini banyak pemerintah daerah yang di daerahnya terdapat hutan mulai tergiur pada iming-iming kompensasi dana karbon, padahal mereka belum tahu secara menyeluruh tentang mekanisme CDM dan konsekuensi apa yang harus dilakukan dalam menjual karbon. Seharusnya sebelum melaksanakan proses penjualan karbon ini, pemerintah daerah wajib memiliki data potensi dan trend perubahan hutan, serta model yang terukur dalam menentukan jumlah karbon. Sistem ini sudah mulai di bangun oleh Departemen Kehutanan untuk memperjelas perdagangan karbon di Indonesia. Sebelum melakukan carbon trading kita harus memperbaiki sistem dalam pengelolaan hutan yang baik terlebih dahulu. Dalam proses penghitungan karbon, akan selalu berkaitan dengan produktivitas yang terdapat pada hutan. Tiap pohon memiliki batang, tajuk, cabang, daun dan akar sehingga penghitungan potensi pohon dalam penyerapan karbon ini harus dihitung menyeluruh pada seluruh komponen yang terdapat di tiap pohon.
    Pelaksanaan Carbon trade di lapangan tidak mudah karena sebagian data yang dimiliki kurang akurat dan sulitnya prosedur pencairan dana kompensasi karena sulitnya syarat-syarat CDM pada Protokol Kyoto yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia. Carbon trade ini sering dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan lain yang rata-rata adalah orang luar Indonesia untuk keuntungan semata. Menurut (Transtoto, H 2009 buku Kepedulian Yang Terganjal) sampai saat ini proses perhitungan nilai lingkungan dalam penyerapan karbon yang akan diterima Indonesia tak kunjung usai, serta hasilnya pun belum tentu menguntungkan bagi Indonesia. Karena kabarnya data untuk menghitung pengurangan emisi karbon harus diolah dengan menggunakan teknologi yang canggih yang tidak Indonesia kuasai, sehingga patut diwaspadai upaya dari Negara-negara maju yang ingin menguasai data detail dan informasi komprehensif tentang kehutanan Indonesia.
     Harga karbon dari Hutan Indonesia per ton dirasa masih jauh lebih rendah karena pasarnya belum terbentuk dan pasar bebasnya masih belum liquid. Hal ini menandakan tidak akan ada apresiasi atau penghargaan terhadap keberadaan hutan dan pada akhirnya akan tetap terjadi deforestasi dan degradasi hutan oleh manusia. Indonesia tidak sepantasnya mau begitu saja karena terkesan mengemis kepada Negara maju untuk mendapatkan kompensasi dana carbon yang jumlah harga totalnya jauh lebih rendah dan tidak sebanding dengan usaha kita melestarikan hutan.
     Indonesia harus berani dan percaya diri tanpa perlu mengemis-ngemis kompensasi carbon trade pada negara maju. Menjaga dan melindungi Hutan agar tetap lestari merupakan sebuah kewajiban dan Indonesia tidak pantas bergantung terhadap bangsa asing yang notabene mencari keuntungan dari negeri kaya ini.

Daftar Pustaka
Handadhari, T , 2009 , Kepedulian Yang Terganjal. Gramedia. Jakarta.
World Institute

*Tulisan dimuat dalam Majalah Mahasiswa Fakultas Kehutanan FORESTA edisi I 2013

 
;