Sudah 2 tahun terakhir semenjak tahun 2011,
Indonesia menerapkan moratorium untuk izin pembukaan hutan dan lahan gambut serta penataan tata
kelola kawasan hutan agar lebih baik. Dengan bermodal payung hukum instruksi
presiden no. 10 tahun 2011. Segala bentuk izin pembukaan lahan hutan untuk
diubah menjadi bentang alam yang lain dihentikan. Intsruksi tersebut berlaku
selama dua tahun.
Tahun ini moratorium tersebut telah diperpanjang
kembali dengan keluarnya instruksi presiden no. 6 tahun 2013 yang akan berlaku
sampai tahun 2015. Melihat kembali
situasi hutan Indonesia saat ini. Pemberlakuan moratorium untuk izin pembukaan
lahan hutan dan gambut tentu memiliki dampak baik dan buruk bagi pengelolaan
hutan secara keseluruhan di Indonesia.
Tujuan dari moratorium hutan yaitu agar tata kelola
kawasan hutan di Indonesia ini bisa diperbaiki. Pemerintah diberikan kesempatan
dengan cara tidak akan membuka kawasan baru untuk dikelola. Sehingga pemerintah
bias focus untuk memperbaiki kawasan hutan yang sudah ada sekarang. Kemudian
untuk melembagakan one map dan melembagakan system tata kelola izin yang
memeiliki cek dan control serta transparansi izin.
Moratorium awal mulanya merupakan salah satu bentuk
implementasi perjanjian Indonesia dengan Norwegia dalam konferensi Perubahan
Iklim dan Hutan di Oslo. Ini merupakan cikal bakal adanya moratorium. Komitmen
pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan hutan primer dan lahan gambut dari
kerusakan. Norwegia berjanji akan memberikan fee senilai 1 milyar dollar AS
jika sampai tahun 2020 Indonesia mampu menurunkan emisi sampai 20%. Hal ini
pula yang kemudian memunculkan program implementasi nyata REDD (Reduction Emission from Deforestation and
Degradation of Forest) yang saat ini sedang pro kontra di kalangan para
pembuat kebijakan kehutanan.
Moratorium akan berdampak pada berkurangnya laju
deforestasi hutan. Hal tersebut terjadi karena tidak akan keluar izin yang
memperbolehkan pengelolaan pada kawasan hutan yang baru. Hal ini sekaligus
mampu menekan jumlah kerusakan hutan primer dan gambut yang terjadi.
Dengan adanya moratorium sebenarnya juga mengurangi
adanya konflik agraria dan sumber daya alam (SDA). Konflik agraria dan SDA ini
terjadi karena banyaknya tumpang tindih izin yang keluar di kawasan Hutan
Primer. Seringkali mereka juga melupakan keberadaan suku/masyarakat yang merasa
meiliki kawasan hutan tersebut sebagai hutan adat. Hal ini mengakibatkan
terjadinya konflik karena mereka merasa sama sama memiliki kawasan hutan dan tidak
ada tapal batas kawasan yang jelas.
Sebaliknya, moratorium hutan juga akan berdampak
pada macetnya pengeloaan dan pengusahaan hutan (HTI/HPH). Hal ini terjadi
karena izin pengelolaan areal kawasan hutan untuk HTI/HPH tidak akan ada lagi.
Sampai pemerintahan ini berkahir 2014 pun tidak akan ada perluasan kawasan
HTI/HPH di areal yang baru. Bisa dipastikan kegiatan pembangunan HTI di
Indonesia mandek. Di Indonesia sendiri tidak mungkin ada kawasan yang digunakan
sebagai pengusahaan HTI/HPH yang bukan hutan gambut. Sebenarnya hal ini
berkaitan dengan insentif yang dijanjikan oleh Norwegia melalui REDD+. Jumlah
Insentif yang diberikan oleh Norwegia untuk Indonesia jika mampu menjaga hutan
dan mengurangi emisi sampai 20% (1 milyar dollar AS setara 10 T) tidak
sebanding dengan keuntungan hasil produksi HTI/HPH selama 4 tahun ke depan (97
T). Artinya penjualan Pulp and Paper dari HTI/HPH selama kurun waktu 4 tahun
jauh lebih besar jika di bandingkan dengan insentif yang diberikan Norwegia
(Uni Eropa). Pasalnya sampai sekarang pun pihak Uni Eropa juga belum pernag
mencairkan dana sejumlah yang dijanjikan. Pemerintah Indonesia seolah olah
terlalu bergantung terhadap besaran insentif yang dijanjikan Uni Eropa. Secara
otomatis hal ini akan menghambat Indonesia utnuk menjadi raja kertas dunia.
Menurut Dr. Ahmad Maryudi, salah satu dosen bagian
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM sekaligus anggota IUFRO ini mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah
melakukan persiapan untuk menjalani moratorium ini sampai 2 tahun ke depan.
Beliau mengatakan pemerintah tidak akan mau rugi,karena dengan adanya
moratorium. Stabilitas ekonomi dan pembangunan Indonesia yang bergantung
terhadap industri hutan terganggu.
Selagi moratorium berjalan, tata kelola hutan di
Indonesia harus terus diperbaiki. Salah satu caranya yaitu dengan melibatkan
masyarakat sekitar hutan dan suku adat dalam pengeloaan hutan sehingga mereka
dapat ikut merasa meliki dan memperoleh manfaaat dari hutan. Kemudian
penggunaaan sertifikasi legalitas kayu lebih diperketat sehingga penjualan kayu
illegal akan semakin berkurang. Sehingga menjaga produktivitas dan pengelolaan
indutri hutan tetap berjalan normal.
Moratorium sebenarnya tidak dalam kerangka pasif.
Moratorium hanyalah salah satu cara untuk membawa hutan Indonesia menuju ke
arah yang lebih baik. Selalu ada dampak baik dan buruk dalam pengambilan suatu
keputusan. Wajib dijalankan jika memang dampak baik memberikan efek yang lebih
baik dan lebih besar secara keseluruhan terhadap pembangunan ekonomi di
Indonesia tanpa mengesampingkan adanya dampak buruk yang terjadi. Lantas?
Ranu Bentardi
Penulis merupakan mahasiswa aktif program sarjana
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.